“Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah, padahal Allah-lah yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi? Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadiid, surat 57 ayat 10)

Ayat di atas menyebutkan bahwa para sahabat Rasulullah itu bertingkat-tingkat.

Ada sahabat yang masuk Islam di Mekkah, sebelum melakukan hijrah, seperti Khulafa’ur Rasyidin.
Lalu ada para sahabat yang mengikuti majelis Darunnadwah.
Lalu ada para sahabat yang ikut serta berhijrah ke negeri Habasyah.
Lalu ada para sahabat yang ikut serta pada bai’at Aqabah pertama.
Lalu ada para sahabat yang ikut serta pada bai’at Aqabah kedua.
Lalu ada para sahabat yang berhijrah setelah sampainya Rasulullah ke Madinah.
Lalu ada para sahabat yang ikut serta pada perang Badar.
Lalu ada para sahabat yang berhijrah antara perang Badar dan perjanjian Hudaibiyyah.
Lalu ada para sahabat yang ikut serta pada bai’at Ridhwan.
Lalu ada para sahabat yang berhijrah antara perjanjian Hudaibiyyah dan fathu Makkah.
Lalu ada para sahabat yang masuk Islam pada fathu Makkah.

Dan para sahabat Rasulullah saw pun tahu bahwa mereka bertingkat-tingkat. Sehingga kalau suatu saat Rasulullah saw wafat-pun, sudah terlihat dengan jelas siapa-siapa yang berhak menjadi khalifah, dan siapa-siapa pula yang berhak mencalonkan orang lain sebagai khalifah atau me-musyawarah-kannya.

Bedanya dengan kita saat ini di Indonesia, kita hidup pada masa dimana tingkatan-tingkatan itu tidak terlihat jelas. Sehingga kalau presiden, wakil-nya, seluruh menteri-menterinya, dan seluruh anggota DPR serta MPR yang ada kita hapuskan saat ini juga, maka siapakah yang akan muncul sebagai penyelamat bangsa ini ? Tidak ada. Karena memang tingkatan-tingkatan itu tidak terlihat dengan jelas.

Maka, tidak suka pada sistem demokrasi itu boleh-boleh saja. Tapi sikap dengan seenaknya membuang demokrasi, lalu mewajibkan musyawarah tanpa disertai tindakan-tindakan yang rasional untuk memilih siapa-siapa yang harus duduk di kursi per-musyawarah-an itu, maka hal ini hanya menunjukkan bahwa kita adalah ummat yang tidak bisa mengambil pelajaran dari sirah Rasulullah saw.